Kamis, 25 Juni 2015

hakekat manusia menurut John Locke


Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota “Royal Society.” Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton. Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih gelar sarjana muda di bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.

John Locke hidup setengah abad lebih muda daripada Hobbes dan kuliah di Universitas yang sama dengan Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik. Locke mendapat pengaruh dari semangat libe ralisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu dan bahwa Locke mempunyai ika tan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja. Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya.

Akan tetapi berbeda dari Hobbes, dalam bukunya Two Treaties of Gobernment, Lock menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes.

Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama. Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal.
Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau.

Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh.

Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.

Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.

Titik balik dalam kehidupan Locke adalah perkenalannya dengan Pangeran Shaftesbury. Dia jadi sekretarisnya dan menjadi dokter keluarga. Shaftesbury seorang jurubicara penting bagi pikiran liberal sehingga walau sebentar pernah dia dipenjara oleh Raja Charles II akibat kegiatan politiknya. Tahun 1682 Shaftesbury lari ke Negeri Belanda dan mati disana tahun berikutnya. Locke, berkat hubungannya yang begitu akrab dengan mendiang, senantiasa diawasi dan dibayang-bayangi, karena itu memaksanya juga lari ke Negeri Belanda tahun 1683. Dia menetap di negeri itu sampai pengganti Raja Charles, Raja James II digulingkan oleh sebuah revolusi yang berhasil. Locke pulang ke kampungnya tahun 1689 dan seterusnya menetap di Inggris. Tak pernah sekalipun kawin, dan mati di tahun 1704.

Locke bukanlah orang Inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte Protestan. Tetapi argumennya yang kuat yang dilontarkannya, yang berpihak kepada perlunya ada toleransi merupakan faktor dukungan penduduk terhadap sikap pandangannya. Lebih dari itu, Locke mengembangkan prinsip toleransinya kepada golongan non-Kristen: “baik penganut kepercayaan primitif, atau Islam maupun Yahudi tidak boleh dikurangi hak-hak sipilnya dalam negara semata-mata atas pertimbangan agama.” Tetapi, Locke percaya bahwa toleransi ini tidak berlaku bagi golongan Katolik karena Locke yakin mereka tergantung pada bantuan kekuatan luar, dan juga tak ada toleransi bagi kaum atheis.

Dengan ukuran jaman kini dia boleh dibilang teramat berlapang dada, tetapi beralasan memandangnya dari hubungan dengan ide-ide pada jamannya. Fakta mencatat, alasan-alasan yang dikemukakannya demi terciptanya toleransi agama lebih meyakinkan pembacanya dari pengecualianpengecualian yang dibuatnya. Kini, berkat adanya tulisan-tulisan Locke, toleransi agama sudah meluas bahkan pada golongan-golongan yang tadinya dikucilkan.
Pandangan dan Pemikiran John Locke

“ Ketika manusia lahir, pikiran manusia seperti kertas kosong yang menunggu untuk ditulisi oleh pengalaman di dunia selama hidupnya.”
John Locke mengeluarkan tiga pernyataan , yaitu :
Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong yang di sebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama perjalanan hidup melalui pengalamannya.

Filsafat ini secara epistimologis mengukuhkan aliran empirisme yang melawan aliran pemikiran rasionalisme.
Pandanganya mengarah pada esensialisme ilmiah, yaitu bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak ada.
Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong yang disebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama perjalanan hidupnya melalui pengalamannya. Semua pengetahuan manusia diturunkan dari ide yang disajikan pikirannya setelah melalui pengalaman yang dialaminya. Ide dalam pikirannya itu memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan yang sederhana dan tingkatan yang kompleks.

Tingkaan yang sederhana adalah pengetahuan yang langsung di dapatakan dengan indra, seperti warna kuning, binatang, bintang, dan lain-lain. Dan pengetahuan kompleks yaitu yang riil, misalnya konsep pengetahuan tentang unicorn yang erupakan gabungan konsep kuda, konsep tanduk, dan konsep angka satu.
Dia juga mengategorikan kualitas objek sebagai kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer merupakan sifat yang mendasar dan dapat melekat pada semua objek, seperti padat, panjang, gerak, diam, dan lain-lain. Kualitas sekunder merupakan hasil yang dapat dengan indra, seperti warna, bau, atau rasa. Disebut sekunder karena kualitas itu tidak melekat pada benda, tetapi muncul dari persepsi pikiran saat indra kita berinteraksi dengan suatu benda.

Cara lain untuk mengkategorikan kualitas primer dan kualitas sekunder adalah dengan menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas subjektif pada kategori kualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas yang melekat pada objek sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil persepsi pikiran kita.
Konsep Pemikiran John Locke

Ada persoalan rumit yang muncul saat menggunakan konsep pengetahuannya untuk menjawab pertanyaan. Apakah pohon yang runtuh di tengah hutan itu tanpa ada orang yang dapat mendengarkan suaranya akan menimbulkan suara ?

Sebagai konsekuensinya, teori Locke akan menjelaskan bahwa runtuhnya pohon tida menimbulkan suara, hanya membuat getaran udara dan benda – benda di sekitarnya. Hal ini karena kualitas suara subjektif dan benda yang bergetar adalah kualitas objektif. Tanpa ada sensor indra, kualitas subjektif tidak akan ada. Pandangan ini disebut esensialisme ilmiah ( scientific essensialism), yaitu pandangan yang mengarah pada kesimpulan yang secara luas di pahami oleh para pemikir era modern bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersiapkan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak akan ada.
1. An Essay Concerning Human Understanding ( Uraian yang Membahas Pmahaman Manusia )

John Locke meletakkan pondasi pengetahuan dan pemahaman manusia dengan penggambaran bahwa pikiran manusia yang baru lahir sebagai bayi mirip dengan kondisi kertas kosong yang belum ada tulisannya dan akan di tulisi sepanjang perjalanan hidupnya oleh pengalaman.

Argumen tersebut mengemukakan bahwa prinsip pengetahuan dasar bawaan lahir harus bersandar pada ide adanya sesuatu yang di bawa saat lahir. Menurutnya, hal seperti itu tidak ada. Contohnya, kita tida dapat mengetahui bahwa kita harus menyembah Tuhan tanpa menyetujui, memahami, atau memercayai konsep tentang Tuhan dan keberadaan-Nya.
Pemahaman tentang Tuhan dan kepercayaan pada-Nya diketahui melalui pengalaman atau pembelajaran, dan tidak diketahui atau dibawa sejak lahir. Pembelajaran yang dialami oleh manusia di dapatkan dari proses pengindraan dan pengolahan pemikiran ( sensation and reflection).

2. Tabula Rasa
Tabula Rasa berasal dari bahasa Latin yang berarti dalam bahasa Inggris di terjemahkan
menjadi blank slate yang dalam bahasa Iindonesia artinya “kertas kosong” dan sering jugaditerjemahkan menjadi “kertas putih” dengan konotasi bahwa putih bukanlah jenis warna, tetapi kosong. Ide tabula rasa sudah ada pada karya Aristoteles, De Anima atau tentang Jiwa. Aktualisasi intelektualitas itulah sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengenalan pembiasaan empiris dengan dengan objek di dunia ini, yang kemudian di olah menjadi konsep melalui metode silogistik pemikiran. Tahapan ini oleh Ibnu Sina juga dijelaskan dengan konsep perkembangan diri intelektual potensial menjadi intelektual aktif

Filsafat tabula rasa tidak memberikan ruang bagi paham yang berpendapat bahwa seseorang, dilahirkan dengan darah seniman, darah pengusaha, atau darah pekerja, atau darah – darah lain, dan menggambarkan bahwa manusia sudah di takdirkan untuk menjalani profesi tertentu sejak lahir.

Filsafat ini memberi motivasi pada kita bahwa kita dapat menjadi apapun sesuai dengan pilihan kita jika kita mau belajar. Lingkungan memang memengaruhi jenis pengetahuan yang kita peroleh, tetapi ketika kita sadar bahwa kita memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk belajar merealisasikan pilihan kita.

Jumat, 05 Juni 2015

Bapak Sosiologi Dunia "Auguste Comte"

Auguste Comte lahir di Montpellier, Perancis, pada 17 Januari 1798 dan meninggal dunia pada usia 59 tahun pada 5 September 1857. Nama aslinya Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan Katholik. Ia menempuh pendidikan di Ecole Polytechnique dan mengambil jurusan kedokteran di Montpellier dan menjadi murid sekaligus sekretaris Saint Simon. Comte menghasilkan banyak karyanya, antara lain System of Positive politics, The Scientific Labors Necessary for Reorganization of Society (1882), The Positive Philosophy (6 jilid 1830-1840), Subjective Synthesis (1820-1903)

Kehidupan pribadi Comte sebagai pemikir besar dilingkupi kemiskinan. Ia dikenal sebagai sosok emosional dalam persahabatan, kerap terlibat konflik cinta bahkan pernah mencoba bunuh diri. Comte memiliki kisah cinta platonik dan tragis. Menikah dengan Caroline Massin, seorang pekerja seks, ia bercerai pada 1842. Ia menikah dengan Clotide de Vlaux namun pernikahan tersebut tidak berumur lama. Clotide de Vlaux meninggal dunia karena sakit Tubercolosis.

Pemikiran Comte yang terkenal adalah penjabaran sejarah perkembangan sosial atau peradaban manusia. Teori Comte tersebut membagi fase perkembangan peradaban menjadi tiga tahap, antara lain:
1. Tahap teologis, sebelum 1300. Pada fase ini manusia belum menjadi subyek bagi dirinya dan sangat tergantung pada dunia luar. Contohnya, kesuburan padi tergantung kemurahannya Dewi Sri.
2. tahap metafisika. Pada tahap ini manusia atau masyarakat mulai menggunakan nalarnya. Keterbatasan nalar manusia pada fase ini adalah kentalnya kecenderungan spekulasi yang belum melalui analisis empirik. Contohnya, nalar masyarakat mengalami yang menilai kesusahansebagai takdir semata.
3. tahap positifistik. Ini adalah tahap modern, di mana manusia atau masyarakat menggunakan nalarnya; menjadi subyek dan memandang yang lain sebagai obyek. Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris.

Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta atau positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.

Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857)[4] yang tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Systeme de politique positive yang masing – masing mewakili tahapan tertentu dalam jalan pemikirannya.

Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).

Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics danSocial Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu study tentang hukum– hukum aksi dan reaksi antara bagian– bagian dari suatu sistem sosial. Social statics merupakan bagian yang paling elementer dari ilmu sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study mengenai sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu pertumbuhan.

Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Karena social dynamic[2] merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.
Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan memisahkannya satu sama lain. Bila social statics merupakan suatu study tentang masyarakat yang saling berhubungan dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study tentang hubungan– hubungan sosial yang terjadi antara bagian – bagian itu tidak akan pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan. oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.

Karena pemikiran-pemikirannya inilah ia mendapat julukan Bapak Sosiologi.